Runa melangkah mundur perlahan. Hatinya menangis sungguh teriris.
Bukan. Bukan karena kondisi Musa saat ini, tapi karena hati lain yang sudah terlanjur ia sepakati dihatinya. Runa tidak mungkin mengkhianati Radit. Mereka sudah bertunangan. Meski hatinya masih enggan untuk menghapus bayangan Musa.
Ah entah. Runa tak bisa lagi membendung air matanya. Menangis tapi tak bersuara.
Akan tetapi, sebuah sentuhan tangan mendarat di kedua bahunya, seolah menghentikan langkah mundurnya. Sontak Runa sangat terkejut dibuatnya. Runa menoleh kepada seseorang yang dengan sembarangan menyentuh bahunya.
“Radit?” Tanya Runa. Radit menatap gadis itu. Pikiran Runa kacau.
Kepada siapakah hati Shafaruna akan dilabuhkan? Sosok Tuan Penanya yang selalu menjadi khayalan ataukah kenyataan indah semisal Raditya?
Mampukah gadis jilbab biru mempertahankan hatinya untuk cinta yang satu? Mengingat siapa yang terlebih dahulu dicintainya?
Tuan Pena yang jauh dari raga, sebagai Kejora?
Ataukah sang hujan yang dikirim Tuhan dari langit?
Konflik dalam novel ini begitu rumit, bukan tentang cinta segitiga, melainkan berbicara soal rasa cinta yang memiliki warna setia.