Sudah sepantasnya seorang anak berbakti pada orang tua dan menuruti semua yang diinginkan orangtuanya. Keinginan orang tua yang bahkan tidak diinginkan pun harus tetap dituruti demi menjadi seorang anak yang baik. Keikhlasan dalam menjalani semuanya menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Sulit, bukan berarti tidak bisa.
Hana dengan terpaksa mengikuti perjodohan yang diinginkan oleh orang tuanya. Menjalani pernikahan yang tidak pernah dibayangkannya. Meski hatinya telah memilih seseorang yang juga menginginkannya. Sulit rasanya menafikkan rasa yang sudah terlanjur tertanam. Terlebih rasa itu hanya menunggu waktu.
Kekecewaan demi kekecewaan terus dialami karena pernikahan yang tak diinginkan. Perasaan marah, kecewa dan sedih berbaur menjadi satu. Haruskah menyimpannya atau malah harus membeberkannya? Setiap rasa yang disimpan seolah perlahan mulai membusuk melahirkan kehambaran dalam rumah tangga. Tak ada cinta, tak ada asa. Yang ada hanyalah derita dan kecewa.
Kasih tak sampai yang dirasa menambah rentetan lara dalam jiwa. Memupuskan asa yang seharusnya membara. Pernah terfikir untuk meraihnya? Tapi dosa yang membayangi membuatnya sirna. Mampukah hati menafikkan rasa? Saat diri ingin menyentuh kebahagiaan yang nyata.
Wanita hanya mampu menunggu tanpa mampu mengejar. Hanya mampu merasa tanpa bisa berujar. Mencintai dengan melewati ambang batas wajar, memilih untuk membiarkannya bahagia tanpa berfikir untuk rindu yang semakin memudar.
Saat asa sudah mulai terasa bertepi, secercah harapan tampil seolah member arti. Tapi hati tak ingin lagi menyiksa diri dengan cinta sendiri. Hanya Allah tempat mengadu, memberi ruang rindu memenuhi kalbu.
Malam adalah waktu tepat untuk jiwa-jiwa yang temaram. Terlupakan oleh kasih yang semakin tenggelam. Larut dalam buaian dunia yang semakin suram. Hingga akhirnya hanya satu yang bisa dilakukan.